Polemik surat edaran dekan No. 1098/UN.36.5/KM/2020 tentang anjuran untuk melaksanakan MUBES serantak LK FIP UNM akhirnya ditindak lanjuti secara serius oleh LK FIP UNM. Telah kami bahas pada tulisan sebelumnya, bahwa SE Dekan ini tidak hanya cacat prosedural, namun juga berlawanan dengan regulasi yang lebih tinggi, PLK UNM misalnya. Tanggal 8 April 2021 digelar aksi demonstrasi didepan gedung Fakultas sebagai bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pimpinan, dengan grand isu “Wujudkan Demokratisasi Kampus FIP UNM” diwarnai dengan aksi pembakaran ban mobil yang memicu ketidaknyamanan, kalau tidak begini, pimpinan tak bergeming, sebelumnya, aksi serupa digelar ditempat yang sama, dan evaluasinya, memang harus dilakukan hal-hal yang preassurnya berdampak. Akhrinya pimpinan merespon. Massa aksi yang menuntut untuk terlaksananya dialog terbuka dipenuhi oleh pimpinan, dalam hal ini Dekan FIP beserta dengan Wakil dekan III, namun tak hanya dua pendekar ini yang hadir, ternyata para petinggi jurusan pun ikut ramai-ramai mengawal atasannya, anggap saja begitu. Waktu berjalan, presiden mahasiswa menyampaikan tuntutannya sebagaimana terlampir dalam selebaran, dilanjutkan oleh Menteri Pendidikan dan Pelatihan yang secara tegas meminta kepada Dekan agar Mahasiswa sebagai objek Surat Edaran dilibatkan dalam setiap pembahasan regulasi yang bersangkut paut dengan lembaga kemahasiswaan. Nahas, dialog terbuka berjalan tidak kondusif, beberapa dosen yang hadir sebagai petinggi jurusan berteriak-teriak bak kerasukan setan, yang berujung dengan suasana yang semakin memanas (dapat pembaca saksikan pada postingan feed instagram BEM FIP UNM). Yang disesalkan oleh para demonstran adalah adanya pertunjukan amoral yang dilakukan oleh para dosen, padahal dalam keseharian, mereka selalu menyampaikan pentingnya menjunjung tinggi moralitas, pendidikan karakter dan akhlak, mereka tak memberikan kesempatan kepada perwakilan massa aksi untuk berdialog sebagaimana yang diinginkan, bahkan dalam rekaman video yang tersedia, ada satu orang yang berteriak “HIDUP DEKAN”, yah dekan emang hidup, siapa juga yang bilang mati. Tindakan amoral itu dinilai oleh para demonstran sebagai bentuk cari-cari muka dihadapan dekan—KAMPUNGAN. Dialog tetap berjalan, meskipun tak kondusif, wakil dekan III memberikan tanggapan, namun sayang, ia yang secara tupoksi berkewajiban mengayomi dan mendampingi lembaga kemahasiswaan di tingkat fakultas, malah menyerang dengan mengeluarkan kata-kata yang dinilai tidak bijak, “Tidak adami hakmu disini”, begitu katanya, dengan nada yang cukup lantang,ia menganggap bahwa apa yang ia katakan berpatokan pada SK Kepengurusan BEM FIP UNM. Dalam komentar yang lain, kami menilai bahwa pimpinan begitu senang berkata tanpa pertimbangan. Salah satu isu turunan yang dituntut adalah trransparansi penggunaan anggarann di tingkat fakultas, bukannya transparansi yang pimpinan sampaikan, mereka malah memberikan analogi rusak yang sangat konyol, “transparansi RKA K/L itu sama saja dengan menelanjangi istri ditempat umum”, begitu katanya, analogi macam apa ini, seolah ada yang privat dalam institusi pendidikan. Jika RKA K/L dianggap sebagai hal privat berarti uang dianggap privat, padahal uang bukanlah privat, jika uang dianggap sebagai privasi dalam kampus, dapat dipastikan bahwa kampus sedang dikuasai oleh para pedagang, lantas visi ideal kampus sebagai rahim peradaban? Siapa yang bertanggung jawab? Professor kemana semua? Hilang bak ditelan bumi bersaa dengan hasil-hasil penelitian mereka yang katanya ilmiah dan telah teruji. Konyoool.. Para Pelanggar Asbab fungsionaris LK FIP menolak untuk Mubes secara serentak adalah lama waktu kepengurusan yang tidak berkesesuaian PLK UNM, seentara pimpinan fakultas menilai bahwa, SE Dekan ini diterbitkan guna untuk menertibkan laju dana kelembagaan. Letak permasalahan disini adalah pimpinan yang memaksakan kehendak. Fungsionaris LK yang merasa haknya direnggut, sudah pasti akan melawan, toh gak ada ruginya, paling besar yah hanya bermasalah dengan nilai (bentuk kebiasaan buruk pimpinan, menekan nilai mahasiswa yang kerap kali aktif mengkritisi kesalahan). Hal ini mesti disampaikan sebagai bentuk autokritik, jika LK FIP dianggap melanggar karena menentang lama waktu yang tertuang dalam SK, maka Pimpinan pun melakukan pelanggaran yang cukup parah, dengan menentang peraturan yang lebih tinggi. gak usah jauh, PLK UNM misalnya, yang bertanda tangan tentang pengesahan PLK ini adalah Rektor, masa ia dekan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan aturan yang ditandatangani oleh atasannya, kan lucu, disinilah kami menilai bahwa kedua belah pihak sama-sama melakukan pelanggaran. Nah pertanyaannya adalah, kenapa hanya LK FIP yang diberikan sanksi? Sementara pimpinan pun melakukan pelanggaran? Mestinya diterbitkan solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Atau jika sanksi harus diberlakukan, keduanya mesti disanksi. Tegas yah tegas, tanpa harus tebang pilih. Lahirnya Lembaga Baru PKM Center yang kepengurusannya telah sah tertanggal 22 April 2021 ini diberikan respon positif oleh pimpinan fakultas. Kami tak menganggapnya negatif, yang kami harapkan adalah pimpinan mengedepankan sikap adail dalam memberikan apresiasi. Meskipun kata “adil” di kampus saat ini hanyalah sebatas kata tak bermakna. Aktivitas PKM-PKM dianggap sebagai prestasi, karena mampu mengangkat harkat dan nama baik fakultas ilmu pendidikan, barangkali juga sebagai rating untuk pimpinan, agar bisa dipertimbangkan untuk melaju kejabatan yang lebih tinggi, dekan misalnya, nanti bisa jadi wakil rektor. Nyatanya tidak, apresiasi hanya menyasar kelompok tertentu, faktanya aksi demonstrasi dianggap sebagai tindakan amoral, kurang ajar, dan gobloklah pokoknya. Padahal para demonstran merupakan sekelompok orang yang sadar, sadar akan tugas dan tanggung jawab, bahwa tugas kemanusiaan adalah mengatakan salah kepada hal-hal yang memang salah, dan lantang berkata benar terhadap yang benar. Bahkan sebelum aksi demonstrasi dihelat, aktivitas konsolidasi adalah rutinitas fungsionari LK, dengan mengakomodir banyak pertimbangan dari berbagai pihak yang ikut serta berpartisipasi. Namun saat ini kampus hanya difungsikan sebagai kandang untuk berlomba-lomba mengejar prestasi kuliah, ipk 4.0, predikat mahasiswa terbaik dan menyelesaikan proses kuliah dengan label wisudawan terbaik. Hal fundamental kampus sebagai rahim peradaban intelektual tak lagi dianggap sebagai potensi untuk kemajuan, malah harus dibersihkan dan diganti dengan hal-hal yang berbau prestasi akademik. Nalar kritis, kelompok-kelompok literasi di kampus dianggap sebagai sesuatu yang anomali. Hal-hal yang tak masuk akal Tentang Covid-19, yang katanya punya potensi mematikan yang luar biasa, menular lah, dan membunuh ribuan oranglah, justru dipelihara di kampus, yang katanya kampus pendidikan. Lama waktu pelajaran online tak kunjung menemui titik terang, kapan mahasiswa kembali dibukakan ruang untuk melaksanakan kuliah tatap muka. Jika memperalasankan kopit, semestinya kampus tutup secara total, karena kopit tak memilah orang, mau rektor,mau dekan atau apa kek, SEMUA MAMPUS KALAU TERJANGKIT. Permasalahannya adalah, selama kampus ditutup, aktivitas civitas akademika di kampus tak pernah benar-benar berhenti, gedung fakultas buka, kantin buka, yah karena emang gerbang fakultas dibuka, semuanya keluar masuk, kopit seolah-olah ada musimnya, hari ini ada kopit, besoknya hilang, siklusnya begitu, ritme covid-19 diatur oleh pimpinan, konyol bet dah. Tanggal 22 April Masjid kampus FIP disahkan langsung oleh rektor, dekan-dekan fakultas se-UNM hadir semua, mobil dengan plat merah berjejeran didalam kampus, lah emangnya rektor dan kawan-kawan kebal kopit?. Yang paling parah, keluar aturan baru tentang penutupan kampus hingga beberapa hari kedepan, dengan alasan mengantisipasi penularan kopit, giliran waktu-waktu mudik antisipasi kopit, hari-hari sebelum mudik semua lalu lalang, bebas mau ngapain. Kami tidak mempermasalahkan masjid yah, klarifikasi ini sengaja disampaikan, khawatir kena kritik pedas dari netijen karena dianggap menghalang-halangi aktivitas peribadatan. Nyatanya kampus benar-benar telah dijarah dan dijadikan boneka piaraan oleh orang yang punya kepentingan pribadi/kelompok, apapun yand diputuskan pemerintah, kampus harus nurut. Disisi lain, civitas akademika selalu dituntut agar ilmiah dalam ucap dan tindakan. Faktanya, yang ilmiah-ilmiah hanya ada dalam lembaran naskah akademik, tidak mewujud, tak aplikatif, hanya sebatas bahan yang diperbacotkan menjelang masa akhir status mahasiswa. -KEMENRISBANG 2021.-